I M. A. Gelgel Wirasuta
2.1. Sejarah penggunaan obat
Praktek
praktek pengobatan dicatat dimulai di daratan Mesopotamia sekitar 2600
sebelum masehi. Naskah pengobatan ditulis diatas cetakan tanah liat,
dalam catatan tercantum simtom penyakit, resep dari campuran obat yang
digunakan, dan juga doa-doa yang digunakan dalam penyembuhan. Di daratan
Mesir, praktek pengobatan telah dimulai sejak sekitar 2900 tahun
sebelum masehi (SM). Dalam mitologi mesir kuno dikenal dewa matahari
(Iris/Ra/Holy Eye) dipercara sebagai dewa pengobatan. Dalam praktek
pengembuhan dewa matahari disimbulkan dengan R/. Simbul ini saat ini
digunakan oleh dokter sebagai simbul resep dalam menuliskan resep obat
yang ditujukan kepada apoteker.
Ilmu
pengobatan Cina, menurut legenda berasal dari akar kata Shen Nung
(sekitar 2000 SM), seorang kaisar cina, yang mencari dan meneliti
sekitar ribuan tanaman yang berpotensial sebagai obat. Kaisar telah
mencoba sendiri kasiat obat dan pengalamannya tertuang dalam buku Pen
T-Sao, yang memuat sekitar 365 tanaman sebagai obat. Shen Nung telah
mencoba setiap bagian dari tanaman, seperti akar, kulit batang, daun,
bunga untuk mengobatan, dan beberapa tanaman obat masih digunakan sampai
sekarang, seperti tanaman gingseng, huang ma (efedra).
Naskah
pengobatan dikenal dengan ”Papyrus Ebers” (1500 SM.) didalamnya
tercatat sekitar 800 resep dan tertulis dalam 700 jenis obat. Praktek
pengobatan di jaman ini dilakukan oleh dua atau lebih kelompok, yaitu
sekelompok yang mengiapkan obat-obatan dan pimpinan produsen obat atau
ketua farmasis. Penyiapan obat dilakukan dilingkungan rumah tangga,
resep dibacakan oleh ketua ahli obat. Pimpinan juga bertingak sebagai
penentu senyawa aktif yang digunakan dalam campuran resep.
Theophrastus
(sekitar 300 SM) seorang pilosop Yunani dan seorang ilmu alam, dia
dikenal sebagai bapak botani. Theophratus mengamati karakterisasi
individu tanaman obat dan menulisnya dalam suatu buku. Pada awalnya
pengobatan lebih didasarkan pada pengalaman dan dan selanjutnya
Paracelsus (1541-1493 SM) berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat
perlu pengetahuan kandungan zat aktifnya dan dia membuat obat dari bahan
yang sudah diketahui zat aktifnya. Hippocrates (459-370 SM) yang
dikenal dengan “bapak kedokteran” dalam praktek pengobatannya telah
menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan.
Claudius
Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori
kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi. Selanjutnya Ibnu Sina
(980-1037) telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan dan
penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat seperti pil,
supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari
berbagai negara yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk menghasilkan
pengobatan yang lebih baik.
Dimualai
di Arab, kekembaran profesi kesehatan, Farmasi dan Kedokteran, oleh
saudara kembar Damian dan Cosmas mulai dipisahkan, Damian” seorang
apoteker sedangkan “Cosmas” sebagai seorang dokter. Dalam menjalankan
profesinya si kembar menkombinasikan kesejukan batin relegi dan ilmu
pengobatan untuk mengobati oaring sakit. Profesi si kembar dihentikan
oleh kekaisaran Martyrdoom sekitar tahun 303, karena penyebaran agama
kristen. Belakangan dia dikenal sebagai orang suci dari Farmasi dan
Dokter. Pemisahan profesi farmasi dengan dokter sejaluntya terus
berimbas sampai ke daratan Eropa. Dicatat sampai tahun 1240 di Sisily
sebelah selatan Italia profesi Farmasi dan Kedokteran terpisah, namun
dibeberapa daratan pemisahannya tidak terlalu ketat. Pada Abad ke 17
Raja Frederick II (raja dari Jerman) menegaskan pemisahan kedua profesi
kesehatan ini, dia membuat undang-undang praktek kefarmasian dan
kedokteran.
Johann Jakob Wepfer
(1620-1695) berhasil melakukan verifikasi efek farmakologi dan
toksikologi obat pada hewan percobaan, ia mengatakan :”I pondered at
length, finally I resolved to clarify the matter by experiment”. Ia
adalah orang pertama yang melakukan penelitian farmakologi dan
toksikologi pada hewan percobaan. Percobaan pada hewan merupakan uji
praklinik yang sampai sekarang merupakan persyaratan sebelum obat
diuji–coba secara klinik pada manusia.
Experimen
pengembangan uji coba efek obat pada hewan dan manusia dilakukan di
Universitas,(Institut Farmakologi). Institut Farmaskologi pertama
didirikan pada th 1847 oleh Rudolf Buchheim (1820-1879) di Universitas
Dorpat (Estonia). Selanjutnya Oswald Schiedeberg (1838-1921) bersama
dengan pakar disiplin ilmu lain menghasilkan konsep fundamental dalam
kerja obat meliputi reseptor obat, hubungan struktur dengan aktivitas
dan toksisitas selektif. Konsep tersebut juga diperkuat oleh T. Frazer
(1852-1921) di Scotlandia, J. Langley (1852-1925) di Inggris dan P.
Ehrlich (1854-1915) di Jerman.
2.2. Apotek, Apoteker, dan Pekerjaan Kefarmasian
Bidang
farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat dengan
produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Dalam sejarahnya,
pendidikan tinggi farmasi di Indonesia dibentuk untuk menghasilkan
apoteker. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1990 tetang masa
bakti dan ijin kerja apoteker menyatakan, yang dimaksudkan dengan
apoteker adalah sarjana, farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Seorang apoteker guna dapat
menjalankan pekerjaan kefarmasian memerlukan surat ijin kerja dari
pemerintah. Apoteker yang baru lulus oleh pemerintah diberikan Surat
Penugasan, yang diberikan kewenangan kepada apoteker yang besangkutan
untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian dan memberi tanggungjawab dalam
upaya pengendalian dan pengawasan perbekalan farmasi. Profesi apoteker
adalah keahlian yang menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab apoteker
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sumpah apoteker (PP no 41
tahun 1990, Pasal 21).
Pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat (UU no 7
tahun 1963 tentang Farmasi). Perluasan aspek tentang pekerjaan
kefarmasian dimuat dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, yaitu
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
Dalam
ketentuan umum UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, menjelaskan
bahwa sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika. Sedangkan dalam pasal 40 bagian pengamanan sediaan farmasi
dan alat kesehatan, memasukkan alat kesehatan sebagai bagian dari
sediaan farmasi. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang
berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Alat kesehatan
adalah instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat
yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan
meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan
pada manusia dan atau untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh. Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu
dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.
2.3. Perkembangan Bidang Kefarmasian
Bidang
farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat dengan
produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Berdasarkan penjelasan
tetang pekerjaan kefarmasian dalam UU No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi,
menggambarkan bahwa pekerjaan kefarmasian lebih menekankan pada seni
meracik obat “ars preparandi”. Perkembangan aspek pekerjaan kefarmasian
dijelaskan dalam UU No 23 tahun 1992, yaitu disamping aspek ars
preparandi diperluas sampai pada aspek penyediaan penyendalian produk
farmasi yang bermutu, pengelolaan distribusi dan penyimpanan perbekalan
farmasi yang aman, pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional,
serta pelayanan akan informasi obat baik kepada pasien maupun rekan
profesi kesehatan lainnya.
Pelayanan
kefarmasian saat ini telah semakin berkembang selain berorientasi
kepada produk (product oriented) juga berorientasi kepada pasien
(patient oriented) seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya kesehatan dan pergeseran budaya rural menuju urban yang
menyebabkan peningkatan dalam konsumsi obat terutama obat bebas,
kosmetik, kosmeseutikal, health food, nutraseutikal dan obat herbal.
Tren perkembangan pelayanan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care)
Pelayanan
kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai
komoditi telah berkembang orientasinya menuju pelayanan yang mengacu
kepada pharmaceutical care / asuhan kefarmasian, yaitu pelayanan yang
konferhensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pelayanan obat kepada penderita melalui berbagai tahapan pekerjaan
meliputi diagnosis penyakit, pemilihan, penyiapan dan penyerahan obat
kepada penderita yang menunjukkan suatu interaksi antara dokter,
farmasis, penderita sendiri dan khusus di rumah sakit melibatkan
perawat. Dalam pelayanan kesehatan yang baik, informasi obat menjadi
sangat penting terutama informasi dari farmasis, baik untuk dokter,
perawat dan penderita.
Sebagai
konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan prilaku agar dapat
melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut
antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring
penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan
terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus menyadari kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication eror) dalam proses
pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan pengabdian
profesinya dalam asuhan kefarmasian, harus selalu meningkatkan
standardnya, dan apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga
kesehatan lainnya dalam menetapakan terapi untuk mendukung penggunaan
obat yang rasional.
Orientasi
atau falsafah pekerjaan kefarmasian dalam tahun belakangan ini lebih
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu,
pelayanan farmasi (klinik) yang murah sehingga terjangkau bagi semua
lapisan masyarakat. Tujuan pelayanan kefarmasian, seperti yang tercantum
dalam Kep.Menkes. No. 1197/Menkes/SK/X/2004, adalah:
a.
Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun
fasilitas yang tersedia.
b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi.
c. Melaksanakan KIE (komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat.
d. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
e. Mekalukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan.
f. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evalusai pelayanan.
g. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metode.
Pelayanan
farmasi klinik adalah pendekatan profesional yang bertanggung jawab
dalam menjamin penggunaan obat dan alat kesehatan yang sesuai dengan
indikasi, efektif, aman, dan terjangkau oleh pasien melalui penerapan
pengetahuan, keahlian, ketrampilan, dan prilaku apoteker, serta
bekerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lainnya. Sasaran utama
pelayanan farmasi klinik adalah untuk mencegah atau mengatasi
terjadinya:
a. kesalahgunaan obat (drug misuse),
b. penggunaan obat yang berlebih (drug overuse),
c. penyalahgunaan obat (drug abuse), dan
d. efek-efek obat yang tidak diinginkan.
Adapun tujuan dari pelayanan farmasi klinik adalah:
a. meingkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah sakit,
b. memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin kemanjuran, keamanan, dan efisiensi penggunaan obat,
c. meningkatkan kerjasama dengan dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnnya yang terkait dengan pelayanan kefarmasian, dan
d. membantu penyelenggaraan kebijaksanaan obat di rumah sakit dalam rangka meningkatkan penggunaan obat yang rasional.
Ruang
lingkup kegiatan farmasi klinik meliputi: a) pengambilan riwayat
pengobatan pasien, b) ronde pasien (visite), c) pemilihan sediaan
farmasi, d) distribusi dosis unit, e) pemantauan terapi obat, f)
komunikasi, informasi dan edukasi pasien, g) pencampuran obat suntik, h)
pemantauan kadar obat dalam darag, dan i) nutrisi parenteral.
Tuntutan
pelayanan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) menuntut peningkatan
kemampuan standard farmasis komuniti agar dapat menjalankan profesinya
yang sesuai dengan tujuan dari pelayanan asuhan kefarmasian. Pelayanan
asuhan kefarmasian dirancang untuk peningkatan tarap kesehatan
masyarakat, yaitu: pencegahan penyakit, dan melakukan akses, monitoring,
inisiasi, terhadap pengobatan untuk menjamin terlaksananya program
terapi obat (drug therapy) yang aman dan efektiv (ACP-ASIM, 2002).
Bagian aksi dari pelayanan asuhan kefarmasian yang dimaksud adalah
farmasis membantu dalam akses kebutuhan pengobatan, pencegahan munculnya
reaksi efek samping obat, pengembangan terapi spesifik pada pasien,
memenagemen penyakit-penyakit kronis, dan memonitor kelangsungan
pengobatan (ACP-ASIM, 2002). Program asuhan kefarmasian adalah suatu
model kerjasama yang sangat baik antara dokter dan farmasis, yang
dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (berkait dengan
tingkat kesehatan pasien), menurunkan frekuensi masalah-masalah yang
berhubungan dengan obat, dan meningkatkan keuntungan sosial dari
farmasis (ACP-ASIM, 2002). Dalam pelayanan asuhan kefarmasian di Amerika
dikenal beberapa spesialisasi dari farmasis, yaitu:
1.
spesialis radio-farmasi, (dikenal sejak tahun 1978), spesialis farmsis
bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui
keamanan dan efektivitas dari penggunaan obat-obat radioaktif dalam
diagnosis dan terapi,
2.
nutrition support pharmacy, (dikenal sejak tahun 1988), spesialis ini
meningkatakan perawatan atau pemulihan dari statu nutrisi yang optimal,
medisain dan memodifikasi perawatan gizi sesuai dengan kebutuhan pasien,
3.
farmasi onkologi (dikenal sejak 1996), spesialis ini ditujukan untuk
meningkatkan pelayanan asuhan kefarmasian pada pasien penyakit kangker,
4.
farmakoterapi (dikenal sejak 1988), spesialis ini bertanggung jawab
pada jaminan: kemaamanan, ketepatan, dan faktor ekonomis dari penggunaan
obat pada perawatan pasien, spesialis ini juga memberi pelayanan
informasi obat kepada profesi kesehatan lainnya,
5.
farmasi psikiatri (dikenal sejak 1992) spesialis ini ditujukan pada
pelayanan asuhan kefarmasian kepada pasien dengan kelainan kejiwaan.
2.4. Bidang pekerjaan apoteker
Pesatnya
perkembangan ilmu kefarmasian maka apoteker atau dikenal pula dengan
sebutan farmasis, telah dapat menempati bidang pekerjaan yang makin
luas. Bidang pekerjaan farmasis di Indonesia saat ini tersebar di:
lembaga pemerintahan, lembaga penelitian, lembaga pendidikan (pendidikan
tinggi dan kejuruaan), sarana produksi sediaan farmasi, sarana
penyaluran sediaan farmasi, sarana pelayanan sediaan farmasi, dan bidang
lainnya.
i) Pekerjaan farmasis
di lembaga pemerintahan meliputi, di lembaga kesehatan, seperti: Dinas
Kesehatan, Gudang Farmasi, Balai Pengawasan Obat dan Makanan, dll.
Mereka bekerja pada aspek regulasi, pengawasan baik distribusi maupun
pengawasan mutu sediaan farmasi. Dalam menjalankan profesinya secara
umum apoteker memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Menguasai ilmu kefarmasian
b. Menguasai asuhan kefarmasian
c. Menguasai regulasi kefarmasian
d. Menguasai manajemen praktek kefarmasian
e. Menguasai akuntabilitas praktek kefarmasian
f. M enguasai komunikasi kefarmasian
g. Mengikuti pendidikan dan pelatihan kefarmasian berkesinambung
h. Mampu melakukan penelitian dan pengembangan kefarmasian.
Adapun kompetensi yang dituntut bagi farmasi yang bekerja di lembaga pemerintahan, yaitu:
a. Mampu melakukan kontribusi dan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dalam bidang kesehatan khususnya obat.
b. Mampu merencanakan dan mengelola obat dan alkes secara regional , nasional maupun internasional.
c. Mampu melaksanakan fungsi administrasi pemerintahan dari obat dan alat kesehatan
d. Mampu melaksanakan fungsi pengawasan obat dan makanan.
e. Mampu berkontribusi dalam penetapan kebijakan pendidikan kefarmasian nasional.
f. Mampu melaksanakan fungsi perizinan.
g. Mampu melaksanakan fungsi perwakilan bangsa dan negara diluar negeri.
ii)
Bidang pekerjaan farmasis di lembaga pendidikan dan penelitian. Sesuai
dengan tugas tridarma perguruan tinggi, farmasis yang bekerja di lembaga
pendidikan tinggi, dituntut juga dapat melakukan penelitian bidang
farmasi. Lembaga penelitian pemerintah dimana farmasis eksis didalamnya
seperti: LIPI, BATAN, dll. Penilitian yang dikerjakan oleh lembaga
suasta, khusus dibidang obat-obatan masih sangat kurang. Belakangan ini
telah terjadi pengingkatan perhatian dari lembaga industri dalam
melakukan penelitian, khususnya penelitian pengembangan tanaman obat
menjadi produk sediaan obat (jamu, atau sediaan fitofarmaka). Hal ini
ditunjukkan mulai banyak dikenal produk fitofarmaka yang beredar
dimasyarakat. Hasil penelitian ini juga merupakan kerjasama antara
Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi dengan Industri Farmasi.
iii)
Bidang pekerjaan farmasis disarana produksi sediaan farmasi meliputi:
produksi bahan baku obat, obat, jamu (obat tradisional / obat herbal),
fitofarmaka, nutrisi tambahan, dan produksi kosmetik-kosmeseutika.
Farmasis yang bekerja di sarana produksi sediaan farmasi dituntut
memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Mampu melaksanakan fungsi pendaftaran obat.
b. Mampu melaksanakan Good Inventory Practices
c. Mampu berpartisipasi mengembangkan senyawa/eksipien baru.
d. Mampu mengembangkan formula sediaan obat, pilot plant dan up scaling.
e. Mampu mengembangkan spesifikasi, metode analisis dan prosedur pengujian untuk bahan awal, obat jadi dan kemasan.
f. Mampu melaksanakan Good Manufacturing Practices.
g. Mampu mengendalikan teknis operasi dan proses manufaktur obat.
h. Mampu melaksanakan Good Laboratory Practices / analisis kontrol untuk pengawasan mutu obat.
i. Mampu melaksanakan pengemasan produk.
j. Mampu merancang dan melakukan uji stabilitas / kadaluwarsa.
k. Mampu berpartisipasi dan berkontribusi dalam uji klinik obat baru.
l. Mampu untuk melaksanakan pengujian yang sesuai untuk perbaikan mutu produk.
m. Mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan validasi proses.
n. Mampu menajamin keselamatan kerja.
o. Mampu berpartisipasi dalam menghasilkan dan mendiseminasikan pengetahuan baru.
p. Mampu melaksanakan promosi dan penyampaian informasi obat kepada tenaga profesional kesehatan lainnya.
iv)
Tempat pengambdian profesi farmasis pada sarana penyaluran antara lain
di: pedagang besar farmasi dan disdributor alat kesehatan. Sesuai
dengan amanat UU 23 tahun 1992 tentang kesehatan, salah satu pekerjaan
kefarmasiaan yaitu pengamanan, penyimpanan dan distribusi obat.
Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini memungkinkan terjadi
pelimpahan pekerjaan kefarmasiaan tersebut kepada tenaga kefarmasian
(Asisten Apoteker). Pertimbangan dari peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku adalah kurangnya jumlah apoteker di republik ini. Dengan
meningkatnya jumlah perguruan tinggi farmasi di Indonesia, sampai saat
ini tercatat terdapat 60 perguruan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi farmasi, dan setiap tahunnya diluluskan sekitar 3500
apoteker baru, akan menuntut perluasan kesempatan kerja bagi apoteker
baru (Danutirto, 2008). Mengacu pada amanah yang tersurat pada UU
kesehatan no 23 tahun 1992 dan usaha menjalankan pekerjaan kefarmasian
dikerjakan oleh apoteker (farmasis) berarti akan terbuka luas lapangan
pekerjaan bagi apoteker.
Aspek
pekerjaan kefarmasian yang lain, dimana oleh ketentuan peraturan dan
perundangan yang masih dapat dikerjakan bukan oleh farmasis adalah:
a.
Penyerahan obat pada pasien. Penyerahan obat kepada pasien yang belum
dilakukan oleh apoteker diunit pelayanan kesehatan seperti di klinik,
puskesmas, dokter dispensing, perawat, bidan dispensing)
b.
Pelayanan informasi obat baik kepada pasien maupun oleh sekan sejawat
tenaga kesehatan lainnya belum optimal diberikan oleh apoteker, dimana
saat ini rekan dokter lebih banyak memberikan informasi obat kepada
pasien.
v) Bidang pekerjaan
farmasian di sarana pelayanan meliputi: apotek, instalasi rumah sakit,
klinik bersama, dan puskesmas. Kompetensi farmasis pada bidang pelayanan
meliputi:
1) Kompetensi apoteker bekerja di Apotek, yaitu:
a. Mampu melaksanakan pengelolaan obat sesuai peraturan yang berlaku.
b. Mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian secara profesional kepada pasien secara tepat , aman dan efektif.
c. Mampu melaksanakan fungsi pelayanan konsultasi, informasi dan edukasi tentang obat dan alat kesehatan pada pasien.
d. Melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
e. Mampu berpatisipasi aktif dalam program monitoring keamanan obat.
f. Mampu melaksanakan fungsi pimpinan di Apotik baik dalam bidang manajemen maupun kefarmasian.
g. Mampu berpartisipasi aktif dalam program promosi kesehatan masyarakat.
2) Kompetensi apoteker bekerja di Rumah Sakit, yaitu:
a. Mampu melaksanakan fungsi pengadaan obat dan alkes sesuai kebutuhan rumah sakit.
b. Mampu melaksanakan Good Inventory Practices dan Good Storage Practices.
c. Mampu melaksanakan Good Laboratory Practices.
d. Mampu melaksanakan distribusi obat di Rumah Sakit
e. Mampu melaksanakan fungsi Farmasi Klinik bersama dokter untuk kepentingan pasien.
f. Mampu melaksanakan fungsi konsultasi, informasi dan edukasi tentang obat yang digunakan oleh pasien.
g. Mampu memberikan pelayanan informasi tentang obat kepada yang membutuhkan.
h. Mampu berpartisipasi dan berkontribusi dalam litbang di Rumah Sakit.
i. Mampu berpartisipasi dalam program pendidikan di Rumah Sakit.
j. Mampu berperan dalam Komite Farmasi dan Terapi.
k. Mampu berpartisipasi menanggulangi keracunan.
vi)
Bidang lainnya. Perubahan orientasi pelayanan kefarmasian menuju
asuhan kefarmasian menuntut peningkatan ketrampilan dan keilmuan
farmasis. Pharmaceutical care yaitu obat sampai ketangan pasien dalam
keadaan baik, efektif dan aman disertai informasi yang jelas sehingga
penggunaannya tepat dan mencapai kesembuhan. Kelalaian farmasis dalam
menjalankan pelayanan asuhan kefarmasian kemungkinan dapat berujung pada
kasus perdata, yaitu penuntutan pasien kepada farmasis akibat kelalaian
atau kesalahan prosedur pelayanan asuhan kefarmasian yang dapat
merugikan pihak lain. Kasus ini menuntut farmasis menguasai keahlian
farmasi forensik. Penipuan pelayanan kesehatan kepada perusahan asuransi
baik oleh pasien atau tenaga kesehatan lainnya, membuka peluang
pekerjaan farmasis dalam farmasis forensik, terutama dalam melakukan
assesment pengobatan, catatan medik, catatan kefarmasian atau audit
klaim asuransi kesehatan.
Keahlian
farmasis dalam bidang kimia farmasi analisis, farmakologi-toksikologi,
patologi klinik, farmakokinetik, biotransformasi merupakan dasar
kecapakan yang didapat dijadikan dasar oleh farmasis untuk bekerja
dibidang: laboratorium klinik, labiratorium analisis toksikologi
klinik/forensik, sebagai toksikolog forensik/klinik, dan laboratorium
kesehatan lainnya.
Alat kesehatan
merupakan bagian dari sediaan farmasi menuntut penguasaan farmasis akan
pengetahuan tentang medical devices (alat kesehatan, pereaksi
diagnostik). Penguasaan pengetahuan ini tentunya juga bermuara pada
peluang kesempatan kerja baru bagi farmasis.
Daftar Bahan Bacaan:
1.
Sukandar, E. Y., (.....),Tren Dan Paradigma Dunia Farmasi:
Industri-Klinik-Teknologi Kesehatan, Pidato ilmiah pada acara dies
natalis ITB yang ke 45, Departemen Farmasi, FMIPA, Institut Teknologi
Bandung
2. American College of
Physicians–American Society of Internal Medicine (ACP-ASIM), 2002,
Pharmacist Scope of Practice, Ann Intern Med.(136):79-85.
3.
Healthcare Litigation Support, LLC. (2007), Litigation &
Arbitration, http://www. healthcarelitigation.com/litexp.htm, accessed:
25.01.2008
4. Anderson, P. D.
(2000), An Introduction to Forensic Pharmacy The Application of
Pharmacy to Other Legal Issues Examples of Forensic Pharmacy
http://www.continuingeducation.com/pharmtech/forensic/examples.html,
accessed: 25.10.2005
5. Danutirto, H., (2008), Tantangan Kefarmasian ke Depan, Pelatihan Uji Kompetensi Apteker, Denpasar 22-24 Februari 2008.